Please enable JavaScript to view the comments powered by Disqus.

Bagaimana Pendapat Kalangan Muslim dalam Memperingati Malam Tahun Baru Masehi?

Oleh: Djoko Iriandono,S.E., M.A.*)

Hari ini Rabu tanggal 20 November 2024 mulai pukul 10.00 s.d 12.00,  Pengurus Badan Pengelola Islamic Center (BPIC) Kalimantan Timur mengadakan rapat dengan pengurus yayasan Al Fath Mulia Samarinda untuk membahas kembali tentang naskah perjanjian kerjasama yang telah berlangsung sejak tahun 2022 dan rencana pelaksanaan kegiatan bulan Desember 2024.

Pada saat membahas tentang naskah perjanjian kerjasama tidak banyak peserta rapat yang memberikan masukan. Tidak banyak dilakukan perubahan, dan hanya memakan waktu kurang lebih 10 menit kedua belah pihak langsung saja menyetujui naskah perjanjian tersebut. Akan tetapi ketika membahas rencana pelaksanaan kegiatan pada akhir tahun 2024 perdebatan terjadi hampir 2 jam. Pihak Yayasan Al Fath Mulia mengusulkan agar kegiatan syiar Islam dengan berbagai macam kegiatan lomba, ceramah agama dan sunatan masal serta basar bagi UMKM dapat dilakukan  mulai tanggal 24 Desember 2024 pukul 16.00 dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2024 pukul 24.00.

Perdebatan terjadi ketika ada beberapa orang peserta rapat yang tidak setuju kalau kegiatan berakhir pada tanggal 31 Desember 2024  pukul 24.00 dengan argumen bahwa itu sama saja dengan memperingati malam tahun baru masehi yang tidak ada kaitannya dengan peristiwa keagaman dari agama Islam. Bahkan mereka mengatakan bahwa perayaan malam tahun baru adalah perayaan dari penganut agama lain. Perdebatan antara yang pro dan kontra terus saja berkembang. Pada akhirnya disepakati bahwa kegiatan sudah harus berakhir pada tanggal 31 Desember 2024 pukul 22.00 Wite.

Memperhatikan jalannya rapat yang terjadi pada hari ini, Penulis tertarik untuk membahasnya sedikit lebih dalam. Untuk itu dalam esai ini Penulis berikan judul Bagaimana Pendapat Kalangan Muslim dalam Memperingati Malam Tahun Baru Masehi?

Tahun baru Masehi adalah salah satu momen yang dirayakan hampir di seluruh dunia. Malam pergantian tahun sering dipenuhi dengan pesta kembang api, hiburan musik, dan berbagai acara sosial lainnya. Namun, perayaan ini kerap menimbulkan polemik di kalangan umat Muslim karena pertimbangan agama, budaya, dan nilai-nilai moral yang berbeda. Ada pandangan yang menerima, menolak, atau mengambil sikap moderat terhadap perayaan ini. Untuk memahami lebih jauh, mari kita telaah berbagai sudut pandang berikut.

1. Perspektif yang Mendukung Perayaan Tahun Baru Masehi

Sebagian Muslim memandang malam tahun baru sebagai momen universal yang bersifat budaya, bukan ritual agama. Mereka beranggapan bahwa perayaan ini tidak bertentangan dengan Islam selama tidak mengandung unsur maksiat atau melanggar syariat.

Beberapa alasan yang mendasari pandangan ini:

  • Sebagai Momen Refleksi dan Resolusi
    Bagi pendukung perayaan, malam tahun baru dapat dimanfaatkan untuk merenungi pencapaian dan kegagalan selama setahun terakhir, serta menyusun rencana yang lebih baik untuk masa depan. Mereka berpendapat bahwa refleksi dan introspeksi diri adalah nilai yang dianjurkan dalam Islam, sehingga menjadikan malam tahun baru sebagai waktu untuk evaluasi diri adalah tindakan yang bermanfaat.
  • Mempererat Silaturahmi
    Malam tahun baru sering kali menjadi waktu berkumpul bersama keluarga, sahabat, dan masyarakat. Dalam Islam, menjalin dan mempererat hubungan silaturahmi adalah hal yang dianjurkan. Oleh karena itu, perayaan ini dianggap sah-sah saja selama dilakukan dengan cara yang positif dan tidak melampaui batas.
  • Media Dakwah
    Sebagian umat Muslim justru melihat malam tahun baru sebagai kesempatan strategis untuk berdakwah. Misalnya, mengadakan pengajian, doa bersama, atau acara sosial seperti pembagian makanan kepada fakir miskin. Dengan pendekatan ini, perayaan tahun baru bisa menjadi sarana meningkatkan nilai spiritual dan sosial.

2. Perspektif yang Menolak Perayaan Tahun Baru Masehi

Di sisi lain, ada sebagian kalangan Muslim yang menolak keras perayaan malam tahun baru Masehi. Mereka berpendapat bahwa perayaan tersebut tidak berasal dari tradisi Islam, melainkan dari kebiasaan kaum non-Muslim. Oleh karena itu, mereka menganggap perayaan ini bertentangan dengan ajaran Islam.

Beberapa argumen yang mendasari pandangan ini:

  • Asal-Usul yang Bukan Islami
    Malam tahun baru Masehi berakar pada kalender Gregorian, yang disusun berdasarkan tradisi Kristen. Sebagai Muslim, sebagian orang beranggapan bahwa merayakan malam tahun baru berarti ikut merayakan tradisi agama lain, yang dilarang dalam Islam.
  • Larangan Menyerupai Kaum Lain
    Hadits Nabi Muhammad SAW menyebutkan:
    "Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Dawud).
    Pandangan ini mendorong mereka untuk menjauhkan diri dari tradisi yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam.
  • Pemborosan dan Kemaksiatan
    Perayaan malam tahun baru sering kali diwarnai dengan pemborosan, seperti pembelian kembang api atau pesta yang tidak produktif. Selain itu, aktivitas seperti minum-minuman keras, pergaulan bebas, atau perilaku tidak bermoral lainnya kerap terjadi dalam perayaan ini. Hal ini semakin memperkuat penolakan dari kalangan yang konservatif.

3. Perspektif Moderat: Mengambil Hikmah dari Momen Tahun Baru

Kelompok moderat berada di tengah-tengah, mengakomodasi beberapa aspek perayaan tahun baru tanpa mengabaikan nilai-nilai agama. Mereka tidak serta-merta melarang perayaan, tetapi memberikan batasan agar tetap sesuai dengan prinsip Islam.

Pendekatan mereka meliputi:

  • Mengisi Malam Tahun Baru dengan Kegiatan Positif
    Kelompok ini menganjurkan umat Islam untuk memanfaatkan malam tahun baru dengan kegiatan yang bermanfaat, seperti menghadiri pengajian, membaca Al-Qur'an, atau berdiskusi tentang target kehidupan.
  • Menghindari Kegiatan yang Sia-Sia
    Alih-alih mengikuti perayaan yang berlebihan, mereka menyarankan umat Islam untuk menghindari pemborosan dan kegiatan yang tidak mendekatkan diri kepada Allah.
  • Mengajarkan Nilai Universal
    Kelompok ini juga menekankan bahwa malam tahun baru dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan yang bersifat universal, seperti pentingnya menjaga perdamaian, meningkatkan solidaritas, dan merawat lingkungan.

Perspektif Kebudayaan: Antara Globalisasi dan Identitas Keislaman

Selain aspek teologis, perayaan tahun baru juga dapat dilihat dari perspektif budaya. Di era globalisasi, umat Muslim sering kali menghadapi dilema antara menjaga identitas keislaman dan beradaptasi dengan tren budaya yang mendunia.

Bagi sebagian Muslim, mengikuti perayaan tahun baru dianggap sebagai bentuk modernisasi yang tidak perlu dipertentangkan, selama tidak melanggar nilai-nilai Islam. Namun, bagi yang lebih tradisional, modernisasi ini dapat mengikis identitas keislaman jika tidak disikapi dengan hati-hati.

Kesimpulan

Pendapat kalangan Muslim dalam memperingati malam tahun baru Masehi sangat beragam, mencerminkan kekayaan pemikiran umat Islam dalam menyikapi isu budaya dan agama. Baik mendukung, menolak, maupun moderat, yang terpenting adalah menjaga niat dan tindakan agar tetap sesuai dengan ajaran Islam.

Sebagai umat Muslim, momen tahun baru sebaiknya dijadikan sebagai refleksi diri, waktu untuk memperbaiki hubungan dengan Allah SWT, dan kesempatan untuk meningkatkan hubungan sosial. Dengan cara ini, malam tahun baru dapat memiliki makna yang lebih mendalam, melampaui sekadar perayaan biasa.

 

*) Kasi Kominfo BPIC

Redaksi