Oleh: Djoko Iriandono*)
Dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di era digital dan media sosial yang sangat terbuka ini, kita menyaksikan fenomena yang mengkhawatirkan: maraknya budaya mengkritik secara “nyinyir” tanpa disertai argumen yang jelas dan membangun. Kritik yang seharusnya menjadi pilar demokrasi justru kerap berubah menjadi cemoohan yang destruktif, memperkeruh suasana, dan melemahkan semangat gotong royong dalam membangun bangsa.
Fenomena ini bahkan belakangan menjadi sorotan publik, ketika Presiden Republik Indonesia, Jenderal (Purn.) Prabowo Subianto, dalam sambutannya pada acara yang diselenggarakan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menunjukkan kekesalannya atas banyaknya kritik yang dinilai tidak berdasar dan cenderung menyerang secara personal. Dalam beberapa kesempatan, beliau menegaskan pentingnya membedakan antara kritik yang membangun dan hinaan yang memecah belah.
Sesungguhnya kritik adalah alat penting untuk mengembangkan diri, meningkatkan kualitas keputusan, dan memperbaiki kelemahan. Namun, kritik yang tidak terarah, tidak berdasar, atau bahkan bersifat destruktif, justru bisa merusak harmoni, mengganggu proses pembangunan, dan merendahkan nilai-nilai positif dalam masyarakat.
Di tengah dinamika sosial yang semakin kompleks dimana banyak orang yang terbiasa dengan kritik yang tidak konstruktif, yang sering kali disampaikan dengan nada yang tidak sopan, atau bahkan dengan tujuan untuk menyalahkan orang lain ini, maka muncullah pertanyaan: mengapa di dunia ini selalu ada orang yang suka "nyinyir" atau memberikan kritik yang tidak bermakna? Bagaimana kita menghadapinya?
Mengapa “Nyinyir” menjadi semakin lazim di tengah masyarakat?
1. Budaya Digital yang Minim Etika.
Media sosial telah mengubah cara manusia berinteraksi. Siapa pun kini dapat menjadi “pengamat” dan “komentator” tanpa melalui proses verifikasi, pendidikan jurnalistik, atau tanggung jawab etik. Akibatnya, kritik pun menjadi ajang pelampiasan emosi.
Fitur komentar yang instan dan viralitas informasi membuat orang terdorong untuk memberikan pendapat yang sensasional, walau tak punya dasar. Kritik berubah menjadi nyinyiran karena motivasinya bukan perbaikan, melainkan sekadar untuk terlihat pintar, lucu, atau bahkan merasa superior.
2. Kurangnya Literasi Kritis dan Empati
Kritik tanpa dasar sering kali lahir dari rendahnya kemampuan berpikir kritis. Banyak orang tidak terbiasa menguji fakta, membandingkan sumber, atau melihat persoalan dari berbagai sudut pandang. Akibatnya, kritik yang mereka lontarkan hanya berdasarkan asumsi, emosi sesaat, atau bahkan bisikan hoaks.
Lebih buruk lagi, empati juga semakin menipis. Padahal, dalam menyampaikan kritik yang sehat, kemampuan memahami posisi orang lain sangat dibutuhkan. Tanpa empati, kritik menjadi tajam secara tidak proporsional, bahkan menyakiti pribadi, bukan gagasan.
3. Kritik yang Didominasi Emosi dan Kepentingan Politik
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak kritik yang beredar di ruang publik kini sarat dengan nuansa politik. Dalam situasi ini, kritik tidak lagi ditujukan untuk perbaikan, tetapi menjadi alat untuk menjatuhkan pihak tertentu. Hal inilah yang mungkin membuat Presiden Prabowo merasa gerah — karena kritik bukan lagi soal substansi kebijakan, melainkan personalisasi dan agenda terselubung.
Sebagai contoh, langkah-langkah yang diambil pemerintah kerap disalahartikan atau dipelintir tanpa mempertimbangkan konteksnya. Padahal, di balik setiap kebijakan tentu ada pertimbangan kompleks dan proses panjang. Menilai sesuatu secara sepihak dan emosional hanya akan menyesatkan publik.
4. Kurangnya Keteladanan dalam Berdebat Sehat
Dalam masyarakat kita, tradisi berdiskusi secara intelektual belum menjadi budaya yang kuat. Bahkan di dunia pendidikan sekalipun, kemampuan mengemukakan pendapat dengan data dan sopan santun sering kali tidak ditanamkan secara serius.
Tokoh-tokoh publik — termasuk influencer, pejabat, dan bahkan tokoh agama — memiliki peran besar dalam memberi teladan bagaimana menyampaikan kritik secara elegan. Ketika yang ditampilkan justru debat kusir, adu hinaan, atau pembenaran diri tanpa logika, masyarakat pun menirunya.
5. Kebebasan Berpendapat yang Disalahartikan
Kebebasan berpendapat merupakan salah satu pilar penting demokrasi. Namun sayangnya, tidak sedikit yang menyalahartikan kebebasan ini sebagai kebebasan mutlak untuk berkata apa saja — termasuk mencaci, memfitnah, atau memprovokasi. Padahal, kebebasan sejati datang bersama tanggung jawab.
Mengkritik seorang pemimpin negara, misalnya, tentu boleh. Tapi kritik itu harus berdasarkan data, disampaikan dengan bahasa yang santun, dan diarahkan untuk perbaikan, bukan penghinaan. Presiden Prabowo sendiri menyatakan terbuka terhadap kritik, namun ia juga mengingatkan agar tidak menjadikan kritik sebagai alat sabotase moral dan psikologis bangsa.
Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap agar tidak terjebak dalam budaya nyinyir yang bersifat destruktif?
Pertama-tama kita perlu memahami dan menyadari bahwa kritik yang tidak konstruktif itu muncul dari berbagai faktor, baik dari sisi individu maupun masyarakat. Dalam masyarakat yang terlalu kompetitif, sering kali orang-orang merasa perlu menyalahkan orang lain sebagai cara untuk menegaskan kebenaran atas pendapat mereka. Mereka mungkin tidak memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, atau justru terbiasa dengan cara berbicara yang tidak sopan. Dalam beberapa kasus, kritik yang tidak bermakna juga muncul karena ketidakpuasan terhadap kondisi yang tidak bisa diubah, sehingga mereka memilih untuk menyalahkan orang lain sebagai alasan untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka.
Selain itu, budaya masyarakat yang tidak mendukung dialog yang sehat dan berbasis kejujuran juga berperan penting. Jika masyarakat terbiasa dengan sikap defensif, maka kritik yang tidak konstruktif akan dianggap sebagai cara untuk menegaskan kebenaran, bukan sebagai alat untuk memperbaiki. Dalam lingkungan yang tidak mendukung pertukaran ide yang sehat, orang-orang cenderung menghindari kritik yang jujur, karena mereka khawatir akan dihakimi atau dianggap tidak baik.
Namun, meskipun kritik yang tidak konstruktif muncul dari berbagai faktor, kita tetap harus membangun budaya kritik yang sehat. Kritik yang konstruktif adalah kritik yang tidak hanya menyoroti kekurangan, tetapi juga memberikan solusi, serta didasarkan pada data dan fakta. Kritik yang sehat adalah kritik yang bertujuan untuk memperbaiki, bukan untuk menyalahkan. Dalam konteks pembangunan bangsa dan negara, kritik yang konstruktif sangat penting, karena ia membantu kita mengambil keputusan yang lebih bijak, lebih rasional, dan lebih berpihak pada kepentingan bangsa dan negara.
Bagaimana Cara Membangun Kritik Yang Sehat dan Positif?
1. Tingkatkan Literasi dan Nalar Kritis
Masyarakat perlu terus didorong untuk membaca dari berbagai sumber, memverifikasi fakta, dan membandingkan perspektif. Selain itu masyarakat juga perlu ditingkatkan kemampuan berpikir kritis dan berkomunikasi secara bijak. Kritik yang sehat tidak hanya memerlukan kemampuan untuk menilai, tetapi juga kemampuan untuk menyampaikan pendapat dengan sopan dan terstruktur. Dengan meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kita akan lebih mudah mengenali kritik yang tidak bermakna dan menghindarinya.
2. Latih Empati dan Etika Komunikasi
Sebelum mengkritik, coba tempatkan diri pada posisi orang yang dikritik. Gunakan bahasa yang tidak menyudutkan atau merendahkan. Kritik dengan empati akan lebih didengar dan diterima. Untuk itu perlu terciptanya lingkungan yang mendukung dialog yang sehat. Dalam masyarakat, penting untuk menciptakan suasana di mana setiap orang merasa aman untuk menyampaikan pendapatnya, baik itu mendukung atau menolak. Dengan lingkungan yang sehat, kritik yang tidak konstruktif akan menjadi semakin langka, karena orang-orang akan lebih suka berbicara dengan cara yang bijak dan berdasar.
3. Bangun Budaya Diskusi yang Inklusif
Masyarakat didorong untuk mengedepankan pendidikan dan pelatihan yang mengarah pada peningkatan kemampuan berpikir kritis dan berkomunikasi secara efektif. Pendidikan yang baik tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga memberikan keterampilan untuk berpikir, berbicara, dan berkomunikasi secara bijak. Dengan pendidikan yang baik, generasi muda akan lebih mudah mengenali kritik yang sehat dan menghindari kritik yang tidak konstruktif. Untuk itu sekolah, media, dan ruang publik harus menjadi arena bagi diskusi sehat. Bukan saling serang, melainkan saling belajar dan memperkaya sudut pandang. Forum-forum komunitas bisa dimulai dari lingkup kecil — RT, sekolah, kantor — sebagai laboratorium berpikir kritis.
4. Hargai Perbedaan dan Kedewasaan Demokrasi
Tidak semua orang harus sepakat. Perbedaan pendapat adalah hal wajar dalam demokrasi. Namun dewasa dalam menyikapi perbedaan adalah ciri kematangan bernegara. Jangan membenci seseorang hanya karena berbeda pendapat. Biasakan untuk selalu memperhatikan isi dari pembicaraan bukan siapa yang berbicara.
5. Teladani Pemimpin yang Terbuka dan Tegas
Sikap Presiden Prabowo yang tegas namun tetap membuka ruang dialog adalah contoh yang baik. Kita perlu mendukung pemimpin yang mau dikritik, namun juga tidak diam terhadap serangan yang merusak semangat kebangsaan. Masyarakat jangan mudah terprovokasi oleh tokoh agama, politik dan influenser yang suka nyinyir tidak mendasar.
6. Perkuat nilai-nilai kejujuran
Kita perlu memperkuat nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap kepentingan bangsa dan negara. Kritik yang sehat adalah kritik yang berpangkalan pada kepentingan bersama, bukan pada kepentingan pribadi atau golongan. Dengan memperkuat nilai-nilai ini, kita akan lebih mudah menghindari kritik yang tidak konstruktif dan lebih mudah menerima kritik yang sehat.
Penutup
Dalam kesimpulannya, kritik yang tidak konstruktif muncul dari berbagai faktor, baik dari sisi individu maupun masyarakat. Namun, dengan meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menciptakan lingkungan yang mendukung dialog yang sehat, memperkuat nilai-nilai kejujuran, dan memberikan pendidikan yang baik, kita dapat menghadapi kritik yang tidak konstruktif dengan cara yang bijak dan sehat. Dengan demikian, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih baik, lebih harmonis, dan lebih berpihak pada kepentingan bangsa dan negara.
Kritik adalah vitamin bagi demokrasi, namun seperti halnya vitamin, dosisnya harus tepat dan diberikan dengan cara yang benar. Kritik yang asal nyinyir, tidak berdasar, dan bernada destruktif ibarat racun yang merusak tatanan berpikir dan semangat kolektif.
Sudah saatnya kita mengubah cara kita mengkritik — dari nyinyir menjadi solutif, dari mencaci menjadi memberi masukan, dari menyerang menjadi membangun. Bangsa ini tidak akan maju jika rakyatnya suka nyinyir hanya bisa mencela tanpa solusi. Mari jadi bagian dari warga negara yang kritis, namun juga santun dan bijak.
Sebagaimana pesan bijak yang pernah disampaikan oleh tokoh filsafat Yunani, Socrates, “The secret of change is to focus all of your energy, not on fighting the old, but on building the new.”
*) Kasi Kominfo BPIC Kaltim